WELCOME !

Selamat datang teman-teman semua, di blog ini Insya Allah kita dapat memetik manfaatnya..

Kamis, 15 Mei 2014

Bahagia yang Membahagiakan

                                                                                 بسم الله الرحمن الرحيم

         Dalam salah satu ceramahnya, Ust. Eka Permana Habibillah pernah menerangkan tentang makhluk yang ada di bumi. Ada 3 kategori makhluk (berdasarkan cara bergeraknya, pen). Pertama, ada yang disebut dengan jamada, yaitu makhluk Allah yang tidak bisa bergerak, contohnya batu-batuan. Kedua, ada makhluk yang terkategorikan nabaatat, yaitu makhluk yang hanya bisa bergerak ke atas dan ke bawah saja, contohnya tumbuh-tumbuhan. Ketiga, ada makhluk yang disebut dengan hayawanat, yaitu makhluk Allah yang bisa bergerak ke mana saja. Contohnya binatang dan manusia.

         Selain dapat bergerak ke semua arah, manusia juga merupakan makhluk yang tidak bisa berdiam di satu tempat. Coba bayangkan ketika manusia harus berhenti bergerak dalam keadaan sadar hanya dalam waktu 1-2 jam saja, benar-benar tidak bergerak. Pasti muncul rasa kesal dan ingin segera bergerak, kecuali nenek-nenek atau kakek-kakek yang sudah sepuh banget, biasanya mereka kuat berdiam diri tanpa gerakan apapun. Artinya, jika ada ada orang, apalagi anak muda, yang kerjaannya tidur, ngelamun seperti orang yang malas gitu, mereka tak ubahnya seperti seorang nenek atau kakek yang udah sepuh banget! hehe

         Karena manusia itu bergerak (dinamis), maka banyak aktivitas yang dilakukan, baik yang bersifat rutinitas, ataupun yang bersifat insidental. Makan, minum, masak, belajar, bekerja, menyapu, ngureuk (mencari belut), ngecrik (mencari ikan menggunakan jaring) dan masih banyak lagi aktivitas yang manusia lakukan. Namun, dari sekian banyak aktivitas yang mereka lakukan, muncul satu pertanyaan besar, apa yg mereka cari? Jika boleh digeneralisir, selama hidupnya manusia mencari kebahagiaan. Tentu saja manusia ingin bahagia. Semua yang manusia lakukan, apapun yang manusia usahakan pada dasarnya hanya untuk meraih kebahagiaan.

         Ada yang bahagia dengan harta. Asal duitnya bergepok-gepok, nominal di atmnya belasan digit, rumahnya megah, mobilnya banyak, sawahnya berpetak-petak, perusahaannya mempunyai cabang dimana-mana, ia bahagia. Ada duit ia sumringah, nggak ada duit ia gelisah. Ada yang bahagia dengan wanita. Saat ia dikelilingi wanita cantik, serasa di surga. Apalagi kalau wanita yang suka padanya disukai banyak lelaki, ngefly!. Ada juga yang bahagia dengan jabatan. Ia akan berusaha untuk meningkatkan status jabatannya sampai ia ada di posisi pucuk (baca:puncak). Orang yang gila jabatan akan menghalalkan segala cara agar ia dapat berkuasa. Namun, semua faktor di atas hanya akan memberikan kebahagiaan semu. Karena kebahagiaan yang hakiki adalah mardlatillah (ridla Allah). Inilah yang seharusnya menjadi tujuan seorang muslim.

ان الذين قالوا ربنا الله ثم استقموا فلا خوف عليهم ولا هم يحزنون

         "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan 'Tuhan kami adalah Allah' kemudian mereka tetap istiqamah (konsisten) maka tidak akan menimpa rasa takut bagi mereka dan tidak pula merasa sedih." (QS. Al-Ahqaf : 13)

         Dengan kata lain, merekalah orang yang berbahagia. Itulah yang dicari seorang muslim dalam hidup.
         Namun, untuk mendapatkan mardlatillah  tidaklah mudah. Ibnu Katsir mengatakan bahwa ada dua syarat yang harus dimiliki seorang muslim jika ingin amalnya diterima. Yaitu ikhlas dan sesuai dengan contoh Rasulullah SAW.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"....Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatupun dalam beribadah." (QS. Al-Kahfi : 110)

         Ibnu Katsir mengatakan, ““Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah sesuai dengan syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatupun dalam beribadah”, maksudnya selalu mengharap ridla Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.” Kemudian beliau mengatakan, “Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[1]

         Semoga apa yang kita usahakan berbuah mardlatillah. Aamiin
         Wallahu'alamu bishshawab
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. http://muslim.or.id/aqidah/dua-syarat-diterimanya-ibadah.html (dengan sedikit penyuntingan)

Jumat, 09 Mei 2014

Refleksi Gerakan Islam di Indonesia

Oleh Biri Rachman[1]


         Prof. Hazairin, S.H.; Guru Besar Fakultas Hukum UI pernah berkata, "Beribadahlah sesuai agama masing-masing. Maksudnya, negara RI wajib melaksanakan syariat Islam bagi umat Islam, syariat Nasrani bagi umat Nasrani, dan seterusnya.."[2]

         Perkataan beliau tidaklah cacat hukum, karena sejalan dengan bunyi pasal 29 ayat 2 UUD 1945 "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu". Artinya, setiap warga negara dipersilakan untuk melaksanakan syariat agamanya masing-masing. Tak terkecuali Islam, jika berlandaskan pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 di atas, kaum muslimin akan diberikan keleluasaan bahkan jaminan jika melaksanakan syariat Islamnya secara sempurna (kaffah).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ


         "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah : 208)

         Sayangnya, bukannya mendapat jaminan dari negara, orang-orang yang hendak melaksanakan Islam secara sempurna malah dicurigai sebagai seseorang yang akan mengancam stabilitas NKRI. Stigma ini muncul karena 3/4 abad yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 seusai Soekarno membacakan teks proklamasi, Moh. Hatta kedatangan seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang mengaku membawa pesan dari golongan Katolik dan Protestan. Pesan yang ia bawa berisi penolakan masyarakat Indonesia timur yang beragama Kristen atas anak-kalimat yang berbunyi "dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", yang terdapat dalam pembukaan (Preambule) UUD 1945. Jika anak-kalimat itu diteruskan, kelompok Kristen Protestan dan Katolik mengancam, "Lebih suka berdiri di Luar Republik Indonesia."[3]

         Sejak kejadian itulah, stigma negatif tentang penegakkan syariat Islam yang akan mengancam stabilitas NKRI terus berkembang dan bertahan sampai sekarang. Hal ini diperparah dengan gerakan de-islamisasi (penghilangan nilai-nilai Islam) yang dilakukan oleh orang-orang yang benci Islam dalam segala aspek, termasuk pendistorsian dan manipulasi sejarah kontribusi Islam bagi kemerdekaan Indonesia, sehingga banyak orang Islam sendiri yang apatis dan antipati terhadap gerakan penegakkan syariat Islam di Indonesia. Sungguh ironis!!

         Kecurigaan terhadap gerakan penegakkan Islam bahkan sudah terjadi sejak dulu. Pejuang kemerdekaan yang juga mempunyai cita-cita menegakkan syariat Islam seperti S.M. Kartosoewirjo[4], Abdul Qahar Mudzakkar[5] dan Tengku Muhammad Daud Beureu'eh[6] dianggap sebagai penghianat negara karena hendak menegakkan syariat Islam di bumi pertiwi. Islam seakan duri bagi bangsa Indonesia. Kehadirannya bagaikan pisau yang akan menyayat-nyayat bangsa Indonesia. Apakah benar Islam merupakan benalu bagi bangsa Indonesia? kalau benar Islam merupakan benalu bagi bangsa Indonesia, lantas apa yang menggerakan para pejuang geriliya di Singaparna, Indramayu, Surabaya, Aceh sehingga mereka rela mengorbankan nyawa demi kemerdekaan Indonesia?
-To be continued-

Wallahu A'lamu Bishshawab
------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Hamba Allah, Mahasiswa Pend. Bhs. Arab FPBS UPI. Aktif di Ikatan Pelajar Persis
[2]. Lihat "Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia",Irfan S. Awwas hal 397
[3]. Prof. Dr. Mahfud MD (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, mantan Menteri Pertahanan RI era Presiden Abdurrahman Wahid). "Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi. Pada sore harinya sekitar pukul 17.00 ada tamu yang mengaku mewakili masyarakat Indonesia bagian Timur dengan menyatakan, "Pak Hatta, saya dengar besok PPKI akan mengadakan rapat, saya adalah wakil dari Indonesia timur, apabila tujuh kata dalam piagam Jakarta itu ditetapkan, maka kami masyarakat Indonesia timur tidak akan ikut Indoneisa, lebih baik kami dijajah kembali". Selanjutnya Hatta mengatakan bahwa orang timur itu diantar oleh Maeda (pemimpin tertinggi militer Jepang).
Pertanyaan yang muncul adalah, siapakah yang dimaksud orang timur itu? siapakah yang memberikan mandat kepada orang itu untuk mewakili masyarakat Indonesia Timur? Dan manakah yang dimaksud dengan 'timur' itu, apakah Jakarta timur, jawa timur, atau Indonesia bagian timur? karena apabila yang dimaksud adalah Indonesia bagian Timur, maka hal itu tidak masuk akal. Sebab, untuk sampai ke Jawa Timur saja orang membutuhkan waktu dua hari, apalagi Indonesia Timur.
Penegasan Hatta yang menyatakan bahwa wakil masyarakat Indonesia timur itu diantar oleh Maeda ia tuangkan dalam bukunya sendiri. Padahal, merujuk pada Tempo yang terbit pada bulan Agustus 1985, ternyata Maeda yang masih hidup memberikan kesaksiannya kepada Seiko Ogawa (Wartawan Tempo yang mewawancarainya di Tokyo). "Benarkah anda mengantarkan orang Timur kepada Hatta untuk meminta agar tujuh kata dalam piagam Jakarta dihapuskan?" Maeda pun menjawab, "Hatta adalah kawan saya, tetapi saya tidak pernah mengantarkan orang untuk mencoret tujuh kata dalam piagam Jakarta kepadanya."
Berdasarkan disertasi yang ditulis oleh Bolland tahun 1971, dinyatakan bahwa "Pencoretan tujuh kata tersebuh adalah konspirasi Soekarno-Hatta. Sedangkan orang timur yang dimaksud tidak ada sama sekal. Menurut disertasi itu juga, hal itu dilakukan karena jauh sebelum Indonesia merdeka, Jepang telah berpesan bahwa kalian boleh merdeka asalakan jangan Negara Islam.
(Makalah dan dialog dengan Prof. Dr. Mahfud MD, disampaikan dalam seminar bertema "Politik Hukum Islam di Indonesia", yang diselenggarakan oleh Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 25 Nopember 2006, bertempat di Aula Balai Diklat Departemen Sosial Yogyakarta.)
[4]. Pejuang Syariah Islam asal perbatasan Jawa tengah-Jawa Timur (Baca juga referensi yang lain)
[5]. Pejuang Syariah Islam asal Sulawesi (Baca juga referensi yang lain)
[6]. Pejuang Syariah Islam asal Aceh (Baca juga referensi yang lain)

Minggu, 04 Mei 2014

PAHLAWAN CUKIL

Namanya Rasyid, namun ia sering disebut Encid oleh orang-orang. Sekitar satu abad yang lalu, saat orang-orang pribumi berjuang mengusir penjajah dari bumi pertiwi, ia dilahirkan. Rasyid muda menikah dengan seorang gadis bernama Tasri dan dikaruniai sebelas orang anak, puluhan cucu, dan puluhun cicit.

Lahir di awal abad ke-20 membuat Rasyid harus berusaha menyingkirkan para penjajah dan memperjuangkan hak dirinya, keluarganya serta tanah airnya. Namun, karena keterbatasan finansial ia tak bisa seperti Soekarno ataupun Hatta yang mengenyam bangku pendidikan. Walau begitu, semangat perjuangannya tetap berkobar-kobar.

Pada suatu hari di tahun 40-an sebelum kemerdekaan, Rasyid mendapat informasi bahwa akan dilaksanakan penyerangan terhadap penjajah di daerah Renglasdengklok (tempat Soekarno di culik oleh para pemuda). Mendengar informasi tersebut, Rasyid begitu bersemangat untuk ikut serta berjuang menumpas penjajahan di Indonesia. Sayangnya, Rasyid ditolak untuk bergabung ke dalam barisan tentara yang akan melakukan serangan karena Rasyid dinilai tidak mempunyai kemampuan dan kecakapan dalam berperang, maklum saja, ia tidak pernah belajar stategi ataupun cara berperang baik di sekolah maupun di tempat non formal.

Penolakan tersebut tidak lantas membuat semangat Rasyid untuk berjuang padam, ia terus berusaha agar bisa berkontribusi demi kemerdekaan bangsa. Setelah gagal masuk barisan tentara, ia melirik tempat lain, dan tempat tersebut adalah dapur. Setelah meminta izin kepada pemimpin serangan, akhirnya ia diperbolehkan mengisi satu tempat di dapur sebagai "tukang nyangu". Ia tergabung dalam tim yang bertugas menyediakan makanan untuk para tentara yang akan berperang.

Ya, pada akhirnya di sanalah ia berjuang. Di saat bala tentara menenteng bambu runcing untuk menancapkan semangat perjuangan bangsa Indonesia ke dalam dada para penjajah, ia hanya menenteng cukil[1]. Di saat bala tentara menahan sakitnya peluru kompeni, ia hanya menahan panasnya hawu[2]. Tetapi ingatlah, bisa jadi butiran-butiran nasi yang dimasak Rasyid menjadi energi bagi para tentara dan kemudian mengakibatkan Indonesia merdeka. Dan pada akhirnya, kita bisa memakan butiran-butiran nasi dari hasil bumi kita sendiri, dari hasil perjuangan para terdahulu kita, dari hasil perjuangan Rasyid.

Semoga, perjuangan Rasyid bisa memberikan inspirasi bagi kita, bahwa berjuang itu tak selamanya dengan senapan/senjata. Bahwa perjuangan itu bisa dilakukan dengan apa saja, termasuk dengan menenteng cukil.

Aku bangga padamu wahai Rasyid kakekku, sang pahlawan cukil 

-------------------------------------------------------------------------------
1. Cukil = Alat untuk mengaduk nasi
2. Hawu = Tempat memasak yang terbuat dari tanah

AKU PERCAYA PADAMU

          Berkenaan dengan menjaga keharmonisan rumah tangga, sejarawan muslim, diantaranya Martin Lings, Abdurrahman Asy-Syarqowy, Thariq Ramadhan, H.M.H Al-Hamid Al-Husaini, Muhammad Al-Ghazali, Abdul Munin Al-Hashimi, dan penulis-penulis shirah nabawiyah lainnya seolah sepakat menyertakan satu fragmen dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. Fragmen tersebut adalah ketika Nabi Muhammad saw. pertama kali mendapat wahyu dari malaikat Jibril di Gua Hira.

        Ketika itu, Nabi Muhammad saw. pulang dari Gua Hira dan minta diselimuti oleh Khadijah. Nabi pun kemudian tertidur pulas seolah ketakutannya hilang. Di dalam tidurnya, dalam shirah yang di tulis H.M.H Al-Hamid Al-Husaini, terdapat keterangan bahwa Nabi menerima mimpi yang berupa penegasan bahwa dia adalah Nabi bagi umatnya. Ketika terbangun, dalam nada penuh keresahan, Nabi langsung menyampaikan mimpinya kepada Khadijah.

        "Wahai Khadijah, habislah sudah waktu untuk tidur dan beristirahat. Jibril menyampaikan titah Allah agar aku memberi peringatan kepada semua manusia, dan mengajak mereka supaya menyembah bersujud, dan hanya beribadah kepada Allah. Siapakah gerangan yang dapat ku ajak dan siapa pula yang akan menerima ajaranku?"

        Dari kalimat Nabi Muhammad saw. tampak jelas bahwa dia adalah Nabi bagi umatnya. Namun, dari kalimat itu juga tergambar kecemasan dan ketakutan Nabi tentang misi yang diembannya. Dalam banyak literatur, kita pun akan menemukan bahwa saat itu juga Khadijah menyatakan keimanannya dengan mengucap lafadz syahadat. Namun, dalam catatan H.M.H Al-Hamid Al-Husaini, sebelum Khadijah mengucapkan syahadat, beliau mengucapkan kalimat hebat yang diucapkannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan,"Aku percaya padamu, kekasihku."

         Itulah yang diucapkan Khadijah kepada Nabi Muhammad saw. yang masih dirundung cemas atas risalah yang telah diembannya. Kalimat itulah yang lalu mengubah Nabi Muhammad saw. menjadi sosok yang kuat dan siap menyebarkan Islam, meski tidak sedikit rintangan. Kalimat "Aku percaya padamu" itulah yang buahnya kita nikmati hingga kini berupa iman dan islam yang berhasil ditanamkan kedalam setiap hati.

        Jadi, kalau mau direnungkan lebih dalam, Islam menyebar dan menyentuh banyak hati bukan hanya oleh pedang dan cecerah darah saja, melainkan islam menyebar dan menyinari manusia serta membebaskan manusia dari kegelapan adalah karena kalimat dahsyat yang diucapkan dengan tulus dan ikhlas oleh Khadijah kepada Nabi Muhammad saw., suaminya.



# Menyadur dari artikel di salah satu majalah :D