WELCOME !

Selamat datang teman-teman semua, di blog ini Insya Allah kita dapat memetik manfaatnya..

Selasa, 31 Desember 2013

Kejutan Ospek

“Berbagai pengalaman yang kita dapatkan di masa lalu akan sangat mempengaruhi langkah kita selanjutnya. Seseorang yang kaya akan pengalaman tentu akan lebih memahami arti kehidupan. Karena sebuah pepatah mengatakan “Experience is the best teacher””.
–Biri Rachman-

Doa Mamah dan Bapak
#Hari ke-2 MOKA-KU (28 Agustus 2013)
Poster “ANTI KORUPSI” yang menempel pada dinding kamar tidurku terlihat ngeblur saat mataku melihatnya. Yap, Aku sedang berjuang melewati masa transisi dari dunia mimpi ke dunia nyata. Masa dimana aku merasa begitu lemah, bahkan untuk mengangkat selembar selimut pun aku tak sanggup.
          Detak jarum jam begitu keras terdengar di antara heningnya suasana kamar tidur. Membuat mata ini terus mengawasi setiap perpindahan jarum panjangnya. Astagfirullah, jam menunjukkan pukul 04.46. Aku terkaget bukan hanya karena aku ketinggalan shalat subuh berjamaah di masjid, tetapi juga karena aku  hanya punya sedikit waktu untuk mempersiapkan diri mengikuti OSPEK Universitas yang dilaksanakan pukul 05.30 di kampusku, Universitas Pendidikan Indonesia.
          Segera ku beranjak dari kasur lepekku menuju pintu keluar yang terletak di sebelah kanan kamar dekat lemari bajuku. Ku turuni tangga kayu dan bergegas menuju kamar mandi. Air dingin yang keluar dari mulut keran itu tak ku pedulikan walau harus mencakar kulitku. Ku raih baju kemeja putih polos dan celana katun panjang warna hitam. Dalam hitungan detik keduanya sudah menyelimuti tubuhku. Tak lupa ikat pinggang hitam merek “crocodile” ku pakai sebagai pelengkap. Penampilanku sempuna, jreeengggg salesman siap beraksi!!
          Ku gelar sajadah untuk menunaikan kewajibanku. Tak lupa ku selipkan doa sebagai tanda penghambaanku. Dengan pengharapan sepenuh hati, ku berdoa “Ya Allah, semoga saya tidak telat. Aamiin”       
Tidak sarapan adalah konsekuensi karena aku bangun kesiangan. Dengan gas penuh, ku pacu motor dengan kecepatan tinggi. Jalanan Cicaheum sampai PHH Mustofa yang biasanya padat dan penuh saat itu lengang. Alhasil, hanya dua menit sebelum pintu gerbang ditutup aku berhasil masuk tanda aku tidak telat. Lega rasanya hati ini, “terima kasih ya Allah”.
          Acara hari ini adalah presentasi dan kreasi seni dari tiap jurusan dari masing-masing fakultas. Aku sangat bersemangat karena hari ini aku akan tau sedikit banyak tentang jurusan yang aku pilih, Pendidikan Bahasa Arab. Namun, perlahan semangat itu luntur oleh perutku yang meronta-ronta minta makan.
          Lambung yang sejak pagi tidak menemukan satu butir nasi pun membuatku memikirkan sebuah tempat yang ku anggap surga untukku saat ini, warteg! Terbayang masakan-masakan warteg yang lezat namun murah. Nasi putih anget, tempe orek, telor balado, tumis kangkung, sayur toge serta tahu kuah yang dikombinasikan denga sambal ulek menyempurnakan lamunanku.
“Sampai jumpa besok, terimakasih, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh". Selepas MC mengatakan kalimat terakhir itu, ku tenteng tas, lalu ku beranjak menuju pintu keluar ruangan acara yang berisikan lebih dari 6000 mahasiswa baru. Ku belari kearah tempat parkir menuju sijalu –sebutan untuk motorku.
Ku lewati gerbang kampus yang dijaga oleh tiga orang satpam menuju rumah. Dalam perjalananku, akhirnya kumenemukan warteg di daerah Cicahem. Ku tepikan motor di trotoar, kulepas helm dan kurapikan baju. Langkahku mantap memasuki warteg.

Makan disini mas?”
Iya
Apa aja mas?” tanya si mba sambil menyiapkan nasi putih anget di atas piring.
Ati ayam, tahu, sama jamur.”
Apa lagi?”
Udah aja.”
Pake kuah, sambel?”
“Pake tapi dikit”
Monggo, ini airnya” si Mba menyerahkan menu pesanan dan segelas air teh. Aku pun makan dengan lahap seperti orang yang kelaparan. Emang iya. Hehe
          “eeeuuuuwwww” suara kerongkonganku terdengar merdu tanda aku sudah kenyang. Ku putuskan untuk berhenti makan, karena memang makanannya sudah habis. Hehe
Mba udaaah”
“Apa aja?”
“Ati ayam, tahu, sama jamur”
“Enam setengah.”
          Ku keluarkan dompet hitam berisikan uang sebanyak *sensor*.000,- . Ku ambil uang pecahan lima ribu, seribu dan lima ratus. Ku bayar dengan uang pas. Aku pun pulang dengan wajah dan perut ‘tersenyum’.

#Hari ke-3 MOKA-KU (29 Agustus 2013)
          Hari ini tidak seperti hari kemarin. Aku bangun lebih pagi. Alhasil, pukul 4.30 aku sudah sarapan dan memakai seragam “salesman”ku, aku siap berangkat menuju kampus untuk mengikuti ospek dihari ke-3.
          Sebelum berangkat, ku panaskan motor terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar oli-oli mesinnya mengalir di seluruh bagian motor. Sambil menunggu motor panas, ku periksa perlengkapan. Semua lengkap, tapi aku merasakan seperti ada yang kurang. Dompet! Dompetku hilang!
          Kupikir dompetku tertinggal di kamar, jadi kuputuskan untuk mencarinya di kamar. Ku obrak-abrik seluruh bagian kamar, namun aku tak menemukannya. Ku lanjutkan pencarian di bagian rumah yang lain. Tapi hasilnya sama saja, nol. Aku mulai was-was karena didalam dompet banyak surat berharga. Selain SIM dan KTP ada juga 2 STNK motor milik bapakku.
Teh Iyya yang sedang beres-beres di dapur melihat gelagat aneh yang terjadi pada diriku.
“Milarian naon aa?”
“Dompet”
“Dompet saha?”
“Dompet aa”
“euhh atuh matakna sing tarapti”
          Waktu menunjukkan pukul 05.00. Ku putuskan untuk menghentikan pencarian, karena aku harus segera berangkat menuju kampus. Namun, sebelum berangkat aku menitipkan pesan pada tetehku,
“Teh, tong waka wawartos ka si mamah jeng si bapa, hawatos”
“enya”
“nya atos atuh, aa angkat heula. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
          Hari ketiga adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh peserta dan panitia ospek. Betapa tidak, hari ini adalah hari dimana seluruh UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) menunjukkan kebolehannya. Sebanyak 70 UKM lebih yang terdiri dari UKM Olahraga, UKM Seni, UKM beladiri dan yang lainnya membuat seisi ruangan terpukau. Semua larut dalam kegembiraan, kecuali diriku yang sedang galau karena dompet yang hilang.
          Dalam kegalauan itu, ponselku bergetar tanda ada pesan yang masuk. Ku lihat pengirimnya, ternyata nomer bapakku. Dengan sedikit grogi, ku baca secara perlahan pesannya.
“A, saur teh iyya dompet ical? Cobi taroskeun ka panitia bilih aya nu mendakan.”       Mendapat pesan singkat itu, Aku makin galau. Sudah kehilangan dompet, sekarang bapak sama mamah tau. Alasan aku tidak mau memberi tahu mereka karena aku takut ini semua menjadi beban pikiran bagi mereka, takut mereka khawatir.
          Tepuk tangan peserta begitu membahana menggetarkan ruang acara. Sorak sorai begitu riuh membuat acara semakin menggila. Semua larut dalam euforia kegembiraan. Dalam suasana seperti itu ku coba untuk fokus memikirkan kronologi kejadian kemarin., mulai aku bangun tidur sampai tidur lagi.
          “Kemarin pagi dompet masih ada, pas di kampus pun masih ada, pas di warteg bayarnya kan pake uang yang ada di dompet. Warteg?” yah! Terakhir kali aku membuka dompet kan di warteg. Mungkinkah dompetku ketinggalan di warteg? Bisa jadi.
          Selepas MC menutup acara, aku langsung menuju warteg tempat aku makan kemarin. Dengan harap-harap cemas aku masuk ke dalam warteg. Ku lihat si mba warteg sedang membereskan panci berisi pindang ikan mas. Tanpa basa-basi aku langsung bertanya,
“Maaf mba, barangkali kemarin mba liat..”
“Dompet kan?” si mba langsung memotong pembicaraanku.
“Iya, mba nemu?”
“Iya mas, kemarin ketinggalan di sini. Mau dibalikin, eh mas nya udah pergi”
“Ya Allah mba makasih”
“Iya sama-sama, lain kali hati hati”
“Iya Mba, makasih”. Sebenarnya aku ingin sekali memberi sesuatu kepada si mba sebagai tanda terima kasih. Namun saat itu aku tidak membawa apa-apa. Akhirnya ku putuskan untuk memberinya dilain waktu.
          Setelah menemukan kembali dompet yang hilang, hatiku terasa plong. Aku pun tak sabar untuk pulang ke rumah dan memberitahu orang tuaku yang mungkin sekarang sedang cemas dan siap menginterogasi dengan beribu pertanyaan terkait kronologi hilangnya dompetku.
          Langit hampir gelap, matahari pulang ke persemayamannya. Aku sampai di rumah. Ku lepas sepatu beserta kaus kakinya. Lalu ku buka pintu sambil mengucapkan salam. Terdengar suara mamah menjawab salam dari ruang keluarga. Ku simpan sepatu di rak kemudian menuju ruang keluarga. Terlihat semua anggota keluarga sedang berkumpul menonton TV. Ya, memang seperti itulah aktivitas rutin menjelang magrib.
“Kumaha dompet teh kapendak?” Ucap bapak mengawali pembicaraan.
“Alhamdulillah kapendak
“Dimana?”
“Di warteg, kamari kakantun.”
“Euh aa mah, si Bapak hariwang, jaba aya STNK motoran.” Ucap mamah sambil mencoba meraih remot TV.
“Muhun punten, engke mah moal kakantun deui.”
Sebenarnya aku agak kesal karena teh Iya telah memberitahu mamah sama bapak.
“Teh iyya sih bet wawartos.”
“Wios atuh meh di duakeun puguh.”
“Puguh pami aya masalah teh sok wawartos, meh engke di duakeun ku mamah jeng bapak. Boa eta dompet kapendak teh pedah dua mamah sareng bapak. Apanan dua orangtua mah diijabah.” Mamah menambahkan,
Mendengar mamah mengatakan hal itu, aku merasa tersadarkan. Mungkin apa yang kita dapat selama ini bukan karena hasil usaha kita sendiri. Tapi ada doa orang tua di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar