“Berbagai pengalaman yang kita dapatkan di masa
lalu akan sangat mempengaruhi langkah kita selanjutnya. Seseorang yang kaya
akan pengalaman tentu akan lebih memahami arti kehidupan. Karena sebuah pepatah
mengatakan “Experience is the best teacher””.
–Biri Rachman-
Doa
Mamah dan Bapak
#Hari ke-2 MOKA-KU (28 Agustus 2013)
Poster
“ANTI KORUPSI” yang menempel pada dinding kamar tidurku terlihat ngeblur
saat mataku melihatnya. Yap, Aku sedang berjuang melewati masa transisi
dari dunia mimpi ke dunia nyata. Masa dimana aku merasa begitu lemah, bahkan
untuk mengangkat selembar selimut pun aku tak sanggup.
Detak
jarum jam begitu keras terdengar di antara heningnya suasana kamar tidur.
Membuat mata ini terus mengawasi setiap perpindahan jarum panjangnya.
Astagfirullah, jam menunjukkan pukul 04.46. Aku terkaget bukan hanya karena
aku ketinggalan shalat subuh berjamaah di masjid, tetapi juga karena aku hanya punya sedikit waktu untuk mempersiapkan
diri mengikuti OSPEK Universitas yang dilaksanakan pukul 05.30 di kampusku,
Universitas Pendidikan Indonesia.
Segera
ku beranjak dari kasur lepekku menuju pintu keluar yang terletak di sebelah
kanan kamar dekat lemari bajuku. Ku turuni tangga kayu dan bergegas menuju
kamar mandi. Air dingin yang keluar dari mulut keran itu tak ku pedulikan walau
harus mencakar kulitku. Ku raih baju kemeja putih polos dan celana katun
panjang warna hitam. Dalam hitungan detik keduanya sudah menyelimuti tubuhku.
Tak lupa ikat pinggang hitam merek “crocodile” ku pakai sebagai pelengkap.
Penampilanku sempuna, jreeengggg salesman siap beraksi!!
Ku
gelar sajadah untuk menunaikan kewajibanku. Tak lupa ku selipkan doa sebagai
tanda penghambaanku. Dengan pengharapan sepenuh hati, ku berdoa “Ya Allah,
semoga saya tidak telat. Aamiin”
Tidak
sarapan adalah konsekuensi karena aku bangun kesiangan. Dengan gas penuh, ku
pacu motor dengan kecepatan tinggi. Jalanan Cicaheum sampai PHH Mustofa yang
biasanya padat dan penuh saat itu lengang. Alhasil, hanya dua menit sebelum
pintu gerbang ditutup aku berhasil masuk tanda aku tidak telat. Lega rasanya
hati ini, “terima kasih ya Allah”.
Acara
hari ini adalah presentasi dan kreasi seni dari tiap jurusan dari masing-masing
fakultas. Aku sangat bersemangat karena hari ini aku akan tau sedikit banyak
tentang jurusan yang aku pilih, Pendidikan Bahasa Arab. Namun, perlahan
semangat itu luntur oleh perutku yang meronta-ronta minta makan.
Lambung
yang sejak pagi tidak menemukan satu butir nasi pun membuatku memikirkan sebuah
tempat yang ku anggap surga untukku saat ini, warteg! Terbayang masakan-masakan
warteg yang lezat namun murah. Nasi putih anget, tempe orek, telor
balado, tumis kangkung, sayur toge serta tahu kuah yang dikombinasikan denga
sambal ulek menyempurnakan lamunanku.
“Sampai
jumpa besok, terimakasih, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh". Selepas
MC mengatakan kalimat terakhir itu, ku tenteng tas, lalu ku beranjak menuju
pintu keluar ruangan acara yang berisikan lebih dari 6000 mahasiswa baru. Ku
belari kearah tempat parkir menuju sijalu –sebutan untuk motorku.
Ku lewati
gerbang kampus yang dijaga oleh tiga orang satpam menuju rumah. Dalam
perjalananku, akhirnya kumenemukan warteg di daerah Cicahem. Ku tepikan motor
di trotoar, kulepas helm dan kurapikan baju. Langkahku mantap memasuki warteg.
“Makan disini mas?”
“Makan disini mas?”
“Iya”
“Apa aja mas?” tanya si mba sambil
menyiapkan nasi putih anget di atas piring.
“Ati ayam, tahu, sama jamur.”
“Apa lagi?”
“Udah aja.”
“Pake kuah, sambel?”
“Pake tapi dikit”
“Monggo, ini airnya” si Mba menyerahkan menu
pesanan dan segelas air teh. Aku pun makan dengan lahap seperti orang yang
kelaparan. Emang iya. Hehe
“eeeuuuuwwww”
suara kerongkonganku terdengar merdu tanda aku sudah kenyang. Ku putuskan untuk
berhenti makan, karena memang makanannya sudah habis. Hehe
“Mba udaaah”
“Apa aja?”
“Ati ayam, tahu, sama jamur”
“Enam setengah.”
Ku
keluarkan dompet hitam berisikan uang sebanyak *sensor*.000,- . Ku ambil uang
pecahan lima ribu, seribu dan lima ratus. Ku bayar dengan uang pas. Aku pun
pulang dengan wajah dan perut ‘tersenyum’.
#Hari ke-3 MOKA-KU (29 Agustus 2013)
Hari
ini tidak seperti hari kemarin. Aku bangun lebih pagi. Alhasil, pukul 4.30 aku
sudah sarapan dan memakai seragam “salesman”ku, aku siap berangkat menuju kampus
untuk mengikuti ospek dihari ke-3.
Sebelum
berangkat, ku panaskan motor terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar oli-oli
mesinnya mengalir di seluruh bagian motor. Sambil menunggu motor panas, ku
periksa perlengkapan. Semua lengkap, tapi aku merasakan seperti ada yang kurang.
Dompet! Dompetku hilang!
Kupikir
dompetku tertinggal di kamar, jadi kuputuskan untuk mencarinya di kamar. Ku
obrak-abrik seluruh bagian kamar, namun aku tak menemukannya. Ku lanjutkan
pencarian di bagian rumah yang lain. Tapi hasilnya sama saja, nol. Aku mulai
was-was karena didalam dompet banyak surat berharga. Selain SIM dan KTP ada juga
2 STNK motor milik bapakku.
Teh Iyya
yang sedang beres-beres di dapur melihat gelagat aneh yang terjadi pada diriku.
“Milarian
naon aa?”
“Dompet”
“Dompet
saha?”
“Dompet
aa”
“euhh
atuh matakna sing tarapti”
Waktu
menunjukkan pukul 05.00. Ku putuskan untuk menghentikan pencarian, karena aku
harus segera berangkat menuju kampus. Namun, sebelum berangkat aku menitipkan
pesan pada tetehku,
“Teh, tong waka wawartos ka si mamah jeng si
bapa, hawatos”
“enya”
“enya”
“nya atos atuh, aa angkat heula.
Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Hari
ketiga adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh peserta dan panitia ospek.
Betapa tidak, hari ini adalah hari dimana seluruh UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa)
menunjukkan kebolehannya. Sebanyak 70 UKM lebih yang terdiri dari UKM Olahraga,
UKM Seni, UKM beladiri dan yang lainnya membuat seisi ruangan terpukau. Semua
larut dalam kegembiraan, kecuali diriku yang sedang galau karena dompet yang
hilang.
Dalam
kegalauan itu, ponselku bergetar tanda ada pesan yang masuk. Ku lihat
pengirimnya, ternyata nomer bapakku. Dengan sedikit grogi, ku baca secara
perlahan pesannya.
“A, saur teh iyya dompet ical? Cobi taroskeun ka
panitia bilih aya nu mendakan.” Mendapat
pesan singkat itu, Aku makin galau. Sudah kehilangan dompet, sekarang bapak sama
mamah tau. Alasan aku tidak mau memberi tahu mereka karena aku takut ini semua
menjadi beban pikiran bagi mereka, takut mereka khawatir.
Tepuk
tangan peserta begitu membahana menggetarkan ruang acara. Sorak sorai begitu
riuh membuat acara semakin menggila. Semua larut dalam euforia kegembiraan.
Dalam suasana seperti itu ku coba untuk fokus memikirkan kronologi kejadian
kemarin., mulai aku bangun tidur sampai tidur lagi.
“Kemarin
pagi dompet masih ada, pas di kampus pun masih ada, pas di warteg bayarnya kan
pake uang yang ada di dompet. Warteg?” yah! Terakhir kali aku membuka dompet kan
di warteg. Mungkinkah dompetku ketinggalan di warteg? Bisa jadi.
Selepas
MC menutup acara, aku langsung menuju warteg tempat aku makan kemarin. Dengan
harap-harap cemas aku masuk ke dalam warteg. Ku lihat si mba warteg
sedang membereskan panci berisi pindang ikan mas. Tanpa basa-basi aku langsung
bertanya,
“Maaf mba, barangkali kemarin mba
liat..”
“Dompet kan?” si mba langsung memotong
pembicaraanku.
“Iya, mba nemu?”
“Iya mas, kemarin ketinggalan di sini.
Mau dibalikin, eh mas nya udah pergi”
“Ya Allah mba makasih”
“Iya sama-sama, lain kali hati hati”
“Iya Mba, makasih”. Sebenarnya aku ingin sekali
memberi sesuatu kepada si mba sebagai tanda terima kasih. Namun saat itu aku
tidak membawa apa-apa. Akhirnya ku putuskan untuk memberinya dilain waktu.
Setelah
menemukan kembali dompet yang hilang, hatiku terasa plong. Aku pun tak sabar
untuk pulang ke rumah dan memberitahu orang tuaku yang mungkin sekarang sedang
cemas dan siap menginterogasi dengan beribu pertanyaan terkait kronologi
hilangnya dompetku.
Langit
hampir gelap, matahari pulang ke persemayamannya. Aku sampai di rumah. Ku lepas
sepatu beserta kaus kakinya. Lalu ku buka pintu sambil mengucapkan salam.
Terdengar suara mamah menjawab salam dari ruang keluarga. Ku simpan sepatu di
rak kemudian menuju ruang keluarga. Terlihat semua anggota keluarga sedang
berkumpul menonton TV. Ya, memang seperti itulah aktivitas rutin menjelang
magrib.
“Kumaha dompet teh kapendak?” Ucap
bapak mengawali pembicaraan.
“Alhamdulillah kapendak”
“Dimana?”
“Di warteg, kamari kakantun.”
“Euh aa mah, si Bapak hariwang, jaba aya STNK
motoran.” Ucap mamah sambil mencoba meraih remot TV.
“Muhun punten, engke mah moal kakantun deui.”
Sebenarnya aku agak kesal karena teh Iya telah
memberitahu mamah sama bapak.
“Teh iyya sih bet wawartos.”
“Wios atuh meh di duakeun puguh.”
“Puguh pami aya masalah teh sok wawartos, meh
engke di duakeun ku mamah jeng bapak. Boa eta dompet kapendak teh pedah dua
mamah sareng bapak. Apanan dua orangtua mah diijabah.” Mamah
menambahkan,
Mendengar mamah mengatakan
hal itu, aku merasa tersadarkan. Mungkin apa yang kita dapat selama ini bukan
karena hasil usaha kita sendiri. Tapi ada doa orang tua di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar